Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengapresiasi langkah kepolisian dalam melakukan penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual terhadap santriwati oleh tersangka MSAT (42).
Kasus ini diharapkan dapat segera disidangkan di pengadilan sehingga terdapat kepastian hukum, dan apabila tersangka memang dinyatakan bersalah maka lekas dijatuhkan sanksi yang sesuai. Di samping itu, korban juga bisa mendapatkan ganti rugi, penanganan, dan pemulihan baik trauma psikologis maupun pemulihan martabat di tengah-tengah masyarakat.
“Saya tegaskan kembali, tidak ada kasus kekerasan seksual yang dapat ditoleransi dan siapapun pelakunya, hukum harus ditegakkan dan di proses,” tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, dalam keterangan pers, Sabtu (9/7).
Menteri PPPA mengemukakan seluruh proses hukum terkait tindak pidana kekerasan seksual telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan menjamin segala penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
“Kekerasan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran konstitusi, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.
Oleh karena itu, semua bentuk kekerasan seksual harus mendapat penanganan hukum yang sesuai serta tidak ada lagi penyelesaian di luar pengadilan dan pihak-pihak yang menghalangi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menegakkan hukum,” tutur Menteri PPPA. Lebih lanjut, Menteri PPPA menyampaikan di dalam UU TPKS Pasal 19, dinyatakan secara jelas bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/ atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Bahkan, bila hal tersebut dilakukan oleh seseorang yang memiliki kedudukan lebih kuat atau sebenarnya diberikan kepercayaan untuk melindungi, dan terbukti menjadi pelaku, maka akan mendapat tambahan hukuman.
Apresiasi juga turut disampaikan oleh Menteri PPPA kepada Kapolda Provinsi Jawa Timur beserta jajarannya yang telah melakukan upaya paksa, tegas, dan terukur dalam proses penangkapan tersangka MSAT dan kepada Kementerian Agama atas pencabutan izin operasional pondok pesantren.
Menyikapi hal tersebut, Menteri PPPA menuturkan perlu ditemukan solusi agar tidak adanya pelanggaran hak asasi untuk mendapatkan pendidikan serta melihat solusi jangka panjang agar tidak ada lagi kekerasan seksual di pesantren dan lembaga pendidikan agama lainnya.
“Kami akan terus berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur untuk memastikan pemindahan santriwati berjalan baik, serta mengupayakan percepatan implementasi Pesantren Ramah Anak di semua daerah oleh Kementerian Agama sebagai langkah pencegahan kasus kekerasan seksual yang terus berulang di pesantren dan lembaga pendidikan agama lainnya,” tutur Menteri PPPA.
“Saya mengapresiasi keberanian korban dan saksi korban untuk speak up, melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya.
Hal tersebut memiliki dampak yang luar biasa karena atas keberaniannya, kasus kekerasan seksual ini terungkap dan dapat segera ditangani proses hukum serta pemulihannya, dan yang paling penting adalah mencegah bermunculan korban-korban lainnya,” tandas Menteri PPPA.[]