Nukila Evanty adalah Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA). Hingga saat Nukila giat melakukan kerja-kerja advokasi untuk melakukan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Nukila juga belum lama ini mewakili masyarakat adat Indonesia dalam kegiatan United Nations (UN) Permanent Forums on Indigenous People’s di UN New York pada April 2023.
Dalam pandangan Nukila, pembangunan, perubahan iklim, deforestasi, hilangnya biodiversity karena masifnya pembukaan lahan hutan atau karena industri ekstraktif seperti pertambangan adalah tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini.
“Dampaknya tidak proporsional, dan memengaruhi kelompok populasi yang paling rentan dan terpinggirkan secara sosial. Masyarakat adat atau indigenous peoples termasuk yang paling awal menghadapi dampak langsung pemanasan global terhadap ekosistem atau pun tempat tinggal mereka. Disamping itu masyarakat adat sangat bergantung dan mempunyai hubungan dekat dengan lingkungan dan sumber dayanya. Contoh dampak negatif termasuk penyakit-penyakit yang terkait dengan peningkatan suhu seperti penyakit demam berdarah, malaria, chikungunya, filariasis, dan penyakit yang ditularkan melalui air karena air tercemar. Selain itu, kekeringan berkepanjangan. Lahan yang relatif kering menjadi semakin gersang dan bisa menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut serta hilangnya hutan. Curah hujan yang berlebihan mengakibatkan kerusakan padang rumput, pembibitan dan tanaman lainnya. Naiknya sungai dan keringnya sungai, erosi pantai dengan naiknya permukaan laut yang mempengaruhi sumber mata pencaharian masyarakat adat, munculnya jenis serangga baru dan serangga endemik yang memperburuk kerawanan pangan dan pada akhirnya yang mempengaruhi ekonomi negara kita,” jelas Nukila.
Nukila pun melihat semakin banyak masyarakat adat bermigrasi dan menjadi pengungsi karena meningkatnya frekuensi dan intensitas bahaya iklim. Seperti angin topan, banjir yang meluluhlantakan tanah dan harta benda masyarakat adat.
Saat ini masyarakat adat telah dilanggar hak-haknya karena adanya perampasan tanah untuk pembukaan perkebunan, pembangunan jalan, jembatan, airport, bahkan untuk pembangunan desa, kabupaten baru hingga pembangunan ibu kota negara dan pelaksanaan proyek-proyek mitigasi perubahan iklim seperti penyerap karbon dan proyek energi terbarukan.
Lalu apa pandangan Nukila terkait pembangunan Ibukota Negara Nusantara (IKN) dan dampaknya terhadap masyarakat adat?
Pada awal tahun 2022, pemerintah bersama DPR telah menyepakati dan mengesahkan dasar hukum penetapan pemindahan Ibu Kota Negara. Setelah melalui berbagai proses yang tidak sederhana dan mudah serta memakan banyak waktu, Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 Tentang Ibukota Negara IKN akhirnya resmi menjadi dasar hukum pengalihan IKN dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota negara baru dengan nama Nusantara di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.
“Ada berbagai perdebatan masyarakat adat yang pro dan kontra terkait IKN. Yang menyetujui akan mensupport pemerintah dan antusias menyambut pembangunan IKN. Sementara ada juga masyarakat adat yang tidak setuju, seperti masyarakat adat Suku Balik di Kelurahan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, menolak penggusuran lahan untuk proyek IKN Nusantara. Tuntutan mereka pada Maret 2023 lalu yakni menolak direlokasi ke daerah lain oleh pemerintah termasuk penggusuran situs-situs sejarah leluhur, kuburan atau tempat-tempat tertentu yang diyakini masyarakat adat sebagai situs adat Suku Balik turun-temurun dan menolak perubahan nama kampung, hingga sungai yang selama ini warga sudah kuasai turun menurun. Mereka juga menolak tokoh atau kelompok yang mengatasnamakan Suku Balik yang melakukan kesepakatan terkait IKN tanpa melibatkan komunitas adat karena selama ini menurut masyarakat adat tersebut tidak pernah diajak komunikasi oleh pemerintah terkait IKN,” ungkap Nukila.
Dengan adanya masyarakat adat yang tidak setuju untuk pembangunan IKN, maka perlu ada pendekatan khusus untuk mengatasi hal tersebut. “Masalahnya belum ada pengakuan dan pemahaman bahwa masyarakat adat adalah penjaga keanekaragaman hayati dunia, penjaga hutan dan penjaga keragaman budaya. Mereka mempunyai peran kunci dalam upaya melindungi bumi termasuk hutan dan keanekaragaman hayati. Mereka yang mengelola dan menggunakan sumber daya alam untuk menjamin kelestariannya di masa depan. Mereka yang berjuang dan gigih serta sukses melawan deforestasi, serakahnya ekstraksi mineral, minyak dan gas di tanah leluhur mereka. Perjuangan mereka melawan perluasan perkebunan secara masif dan sistem produksi serta konsumsi yang berkelanjutan melalui pengetahuan tradisional dan nilai-nilai timbal balik dengan alam, dan pengelolaan yang efektif atas tanah dan wilayah adat perempuan dan laki-laki,” terang Nukila.
Karena itu, maka pelaku bisnis dan pemerintah perlu berbuat lebih banyak untuk mengatasi dan mencegah pelanggaran hak asasi terhadap masyarakat adat sebagai akibat dari kegiatan yang terkait dari bisnis mereka.
Efek negatif dari pembangunan yang mengabaikan suara, partisipasi dan kebutuhan masyarakat adat adalah pengabaian hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan identitas budaya mereka, hingga muncul diskriminasi. Gangguan seperti itu seringkali mengarah pada pelanggaran serius terhadap hak-hak sipil dan politik masyarakat adat.
Sehingga para pengusaha maupun pemerintah perlu meningkatkan upaya mereka untuk mengimplementasikan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Hak Asasi Manusia yang telah menjadi panduan negara-negara di dunia ini. Ini termasuk kewajiban negara untuk melindungi masyarakat adat dari pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan bisnis dan tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia. Apabila pelanggaran terjadi, negara memastikan masyarakat adat mendapatkan pemulihan yang efektif.
Pemerintah, pebisnis dan pemilik perusahaan harus bijak untuk menerapkan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan dalam kaitan dengan pembangunan IKN. FPIC (free, prior and informed consent) adalah hak masyarakat adat untuk mengambil keputusan yang tepat mengenai hal-hal yang memengaruhi masyarakat, tradisi, dan cara hidupnya.
Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat atau United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) mengakui bahwa masyarakat adat memiliki hak khusus yang dikenal sebagai free, prior, and informed consent (FPIC).
Deklarasi tersebut terdiri dari 46 pasal yang menjelaskan berbagai hak kolektif dan individu. Ini mengidentifikasi negara dan pemerintah sebagai yang bertanggung jawab untuk melindungi dan menegakkan hak-hak ini dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, martabat dan kesejahteraan masyarakat adat. UNDRIP bertujuan untuk mendobrak hambatan, memberantas rasisme dan diskriminasi sistemik, mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi, dan mempromosikan kesetaraan dan kesejahteraan yang lebih besar bagi masyarakat adat.
Saat ini standar hak asasi manusia seperti ini luput dari perhatian pemerintah dan pebisnis kita. Dalam meminta informasi dari masyarakat adat dan dalam melakukan konsultasi kepada masyarakat adat jangan hanya sekali, atau dua kali saja, tapi lakukan secara konsisten dan pastikan melibatkan semua komponen masyarakat adat. Jelaskan ke masyarakat adat apakah suatu proyek yang dapat mempengaruhi mereka atau wilayah mereka.
Sedangkan terkait Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) adalah hak khusus yang diberikan kepada Masyarakat Adat yang diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), yang selaras dengan hak universal mereka untuk menentukan nasib sendiri. FPIC memungkinkan Masyarakat Adat untuk memberikan atau menahan/mencabut persetujuan, kapan saja, mengenai proyek yang berdampak pada wilayah mereka. FPIC memungkinkan Masyarakat Adat untuk terlibat dalam negosiasi untuk membentuk desain, implementasi, pemantauan, juga evaluasi proyek.
Nukila pun berharap, penting juga ada kajian Human Rights Assesment (HRA) untuk melihat kembali apakah IKN apakah sudah memenuhi standar HAM dalam proses pembangunannya serta melibatkan konsultasi yang mendalam dengan masyarakat adat. Kajian seperti ini penting agar ke depan dampaknya dapat dikurangi bagi masyarakat adat. Semoga IKN dapat menjadi contoh pembelajaran calon ibukota yang responsif pada HAM.